Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Santri dan Dakwah Era Media Baru

Nganjuknews.com - Masih segar diingatan kita bagaiamana film “MY FLAG- MERAH PUTIH VS RADIKALISME” memunculkan berbagai reaksi, baik pro dan kontra terhadap adegan perkelahian maupun adegan dua orang perempuan berkelahi hingga melepas paksa dan membuang cadar salah satunya.

Oponi
Foto: Abu Muslim 

Riuh pro dan kontra tersebut dapat dilihat ribuan cuitan di kolom komentar dengan berbagai nada. Ada yang mengatakan film tersebut pemecah belah umat, adu domba, dan lain sebagainnya seperti yang dipublikasikan HARIANACEH.CO.ID pada 25 Oktober 2020. 

Menariknya, tidak jauh sebelum pemutaran film yang dibintangi Gus Muwafiq itu ada sebuah fenomena pelabelan 'tidak syar’i' oleh para cadarisme terhadap kelompok wanita pribumi karena auratnya masih tebuka.

Pelabelan berkedok 'hijrah' itu booming di media sosial yang diperagakan para artis atau public figure yang digandrungi kaum muda milenial.

Fenomena hijrah ini ternyata mengubah pola pikir khalayak milenial terutama mengenai ‘bagaimana bergama’. Lalu kalangan milenial ini ikut-ikutan mengenakan cadar agar mendapat label syar’i yang diyakininya sesuai dengan ajaran Islam ketimbang menggunakan kebaya atau batik dalam kesehariannya.

Memang kini media sosial memiliki peran kuat dalam membentuk perilaku dan pengetahuan keagamaan.

Meskipun sampai saat ini belum ada data resmi soal jumlah kaum muda muslim Indonesia yang mengakses informasi keagamaan di internet, namun fakta di lapangan menunjukkan perkembangan yang luar biasa.

Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, boleh jadi kalangan milenial Indonesia kebanyakan mengakses informasi keagamaan melalui internet atau media sosial. Dugaan tersebut dapat dilihat, adanya kecenderungan kaum muda milenial muslim ramai-ramai 'ngaji' agama di internet.

Maka tak heran bila belakangan ini ramai bermunculan komunitas seperti facebook Cyber Rohis, atau di Instragram ada Hijrah Muslimah Indoneisa dan lain sebagainya, serta maraknya ustad dadakan dan para dai bermunculan di media sosial dengan beragam latar belakang.     

Justru di sisi lain media sosial sering kali di manfaatkan untuk propaganda atau menyebar paham agama yang radikal.

Seperti cuitan Felix Siauw menaggapi persoalan hijab oleh ibu Sinta Nuriyah Wahid, “Nggak mau berhijab ya silakan aja, tapi ngomong ‘hijab itu nggak wajib bagi muslimah’, itu pernyataan yang maksa banget, udah maksiat, maksa lagi,” kata Felix sebagaimana dimuat di media online Tagar.id pada 23 Januari 2020 lalu.

Kemudian ustadz yang baru mualaf tersebut mempertegas dengan membuat video YouTube yang mengulas pernyataan Bu Sinta, bahkan, Felix menyebut pernyataan itu sebagai simbol de-Islamisasi alias antipati terhadap Islam.   

Nah, padahal pada momen itu juga lagi booming-boomingnya tentang wacana pakaian syar’i yang beredar luas di media sosial. Hal ini menarik, sebab bagaimana bisa fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang bebas motif. Apalagi wacana-wacana itu hadir di tengah-tengah budaya Indonesia yang notabene beragam.

Namun tanpa kita disadari, wacana-wacana itu sudah menghegemoni. Lebih jauh lagi, munculnya wacana-wacana ini pada dasarnya memiliki tujuan ingin diakui eksistentinya sebagaimana pengakuan kepada kelompok-kelompok yang dulu-dulu sudah ada di Indonesia.

Mengapa hal itu mudah terjadi? Jawabanya adalah karena budaya seperti yang diulas di atas menjadi senjata radikalisme yang sasarannya kelompok muda milenial dan kaum urban. Melalui budaya yang di salurkan media sosial sudah memasuki berbagai ranah sosial kehidupan masyarakat atau budaya pop. 

Apa yang diperlihatkan oleh kelompok-kelompok ekstrimis ini adalah jurus mereka mengambil hati masyarakat kelompok muslim milenial Indonesia. Cara-cara yang sekiranya bisa membuktikan ketulusan hati mereka terhadap Islam dilakukan dengan menampilkan busana muslim yang syar’i.

Lantas bagaimana membendung radikalisme di era media sosial sekarang ini? untuk membendung radikalisme tersebut hendaknya kita mulai concern dan melakukan konter dengan dakwah di media sosial yang berisikan nilai-nilai Islam Wasathiyah.

Pertimbangan utama untuk menjadikan media sosial sebagai media dakwah karena berkaitan erat dengan posisi media sosial yang dikenal banyak orang, dan saat ini diminati bahkan masa yang akan datang.

Memanfaatkan media sosial sebagai media dakwah berarti juga bagian dari proses kulturasi dakwah, yaitu dakwah yang mempertimbangkan potensi dan kecenderungan kultural masyarakat saat ini. Maka memilih media sosial sebagai media dakwah merupakan suatu relevan bagi da’i yang getol ingin menyuarakan Islam Wasathiyah.       

Seperti para santri yang belajar di pondok pesantren. mereka yang mengkaji kitab-kitab bernilai Islam Wasathiyah yang berprinsip inklusif, humanis dan toleran hendaknya mulai concern melakukan dakwah di media sosial dengan cara sublimasi dengan budaya pop yang berkembang ssaat ini.

Sebab Kita ketahui santri sebagai pewaris ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam Wasathiyah dari para kiai, ulama, para wali dan nabi sebagai tonggak perdamaian dan perekat persatuan. Hal ini juga sejalan dengan sabda Allah SWT, 

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”, (Q.S. an-Nahl, 125)

Dengan begitu, sikap adaptif terhadap budaya saat ini dengan menebarkan nilai-nilai Islam Wasathiyah akan lebih menarik kaum pemuda milineal dan urban. Sebab kebanyakan kaum muda milenial lebih mementingkan 'bungkus' ketimbang isinya, atau dalam Islam lebih menarik wadahnya ketimbang memahami subtansi nulai-nilai Islamnya. 

Begitu juga zaman para wali. Seperti Sunan kalijaga menyebarkan nilai-nilai Islam moderat menerapkan model dakwah dengan pendekatan budaya melalui lagu “ilir-ilir” dan wayang sehingga dapat diterima disetiap kalangan.

Untuk itu, di masa kini perlu kiranya mencontoh dakwah Sunan Kalijaga. Caranya dengan mensublimasi nilai-nilai Islam Wasathiyah dengan budaya pop yang berkembang saat ini yang disebarkan melalui media sosial dengan tidak menghilangkan unsur subtansi dari nilai-nilai Islam itu sendiri.

Dengan begitu radikalisme akan terbendung dengan sendirinya dan moderasi beragama di Indonesia terjaga serta untuh dalam persatuan.

Oleh: Abu Muslim (abumuslimm04@gmail.com)

*Pemerhati persoalan sosial-keagamaan, alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta