Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bisikan-Bisikan “Runyam” dari Tu(h)an (?)

Zii membenci dua orang yang duduk di bangku dekan fakultas itu, seseorang yang selalu menekankan stereotip 'sukses' di tiap perjalanan

Oleh: Yuyun Yuliana

Nganjuknews.com – Zii membenci dua orang yang duduk di bangku dekan fakultas itu, seseorang yang selalu menekankan stereotip 'sukses' di tiap perjalanan.

Bahkan, stigma yang dilontarkan 'mereka' untuk sebuah proses menjadikannya hanya mampu berdiri sebagai badut - tersenyum dan berjalan tanpa beban - meski acap kali kedua tangan menutup kuping rapat-rapat, dan menghalau suara yang menjebol gendang telinga.

Ini semua memang di luar ekspektasi semua orang, di mana harus ada gadis berotak cerdas yang terlahir dari dua manusia jenius.

Kendati demikian, segala yang melatarbelakangi adalah ketidakadilan ketika Zii yang menanggung cemoohan sebagai bentuk kekecewaan.

Merupakan pandangan tabu terhadap gangguan kejiwaan dan mental, yang menjadi salah satu masalah utama dalam pengertian masyarakat tempat tinggal Zii, sehingga untuk tetap bisa hidup selayaknya manusia normal merupakan keharusan yang dipaksakan kehadirannya.

Zii tahu itu. Menjadi waras adalah sesuatu hal yang diidam-idamkan, bahkan sebelum sayatan-sayatan di pergelangan tangannya terbentuk.

Lalu kemudian ketika malaikat maut nyaris menjemput, kata waras malah mendadak muncul dalam dadanya. Memekakkan segala keputusasaan yang terpendam.

Sama seperti kali ini, ketika Zii akan menemui Sang Kuasa entah yang ke berapa kali - yang sayangnya gagal - dan malah berakhir dengan duduk di pinggiran bangunan sekolah menengah atasnya dengan Guru Dan.

Menikmati angin malam yang serasa hambar.

“Kamu bisa bercerita dengan saya,” kalimat yang akhirnya keluar dari bibir penuh pria berusia awal tiga puluhan itu untuk kali pertama, tentunya setelah hening seperkian menit menemani mereka.

Zii masih enggan berucap. Ia masih mengumpulkan batas kewarasan dalam dirinya untuk menyusun rencana-rencana kehidupan esok. Barangkali ia bisa menjalani hidup yang normal; dan tiba-tiba berniat menemui-Nya malamnya. Seperti saat ini.

“Ada yang mengucapkan bahwa kita harus menjadi semut baru bisa meresapi rasa diinjak, dan harus menjadi gajah agar bisa merasa bersalah,” tutur Guru Dan kembali.

Benar. Mungkin tak ada yang banyak bisa dilakukan pria itu untuk menghadapi Zii - murid barunya - di sekolah yang menjadikannya pengajar pada kurun waktu empat bulan terakhir. Zii terlalu kehilangan kewarasannya, dan ia menyadari itu.

Perkataan dengan majas yang begitu sulit itu menarik perhatian Zii. Ia mengembuskan napas.

“Tak perlu menjadi semut atau pun gajah untuk merasakannya, Guru. Hanya perlu pikiran yang terbuka. Semut tak harus selalu benar hanya karena ia kecil, dan gajah bukan berarti salah karena ia menginjak,”.

“Benar. Ada segala sudut pandang dalam melihat hal, yang hanya dengan begitu kita tahu sedang di posisi apa,”.

Zii sontak menolehkan kepalanya, dan mengerjap ketika disuguhi senyum lembut Guru Dan.

Ia terus-menerus memahami kalimat yang baru saja didengarnya. Tentang menilai sesuatu dari banyak sudut pandang. Kemudian sepoi angin membawanya pada segala hal yang seolah mendikte hidupnya.

“Kamu boleh latihan dance, tapi perbaiki dulu nilai matematikamu,” putus pria berkacamata dengan final. Suatu hari lalu.

Zii kecil hanya melihat kepergian ayahnya - yang sayangnya terlihat angkuh - meninggalkan ia terpuruk sekali lagi.

“Bunda selalu ngelarang Zii liburan weekend sama temen,” marah Zii suatu sore.

Sang Bunda menatap nyalang putri semata wayangnya. “Selesaikan tugas kamu, baru pergi."

Dan Zii kembali memeluk lututnya. Ia tersedu, merasa Ayah dan Ibundanya hanya peduli pada nilai dan ungkapan orang.

Mungkin, kenangan itu yang terputar. Otaknya bagai kaset rusak yang menampilkan kejadian acak dari hidup menyedihkannya.

Seolah ada banyak puzzle yang berserakan, memintanya untuk menyusun kembali dan menemukan titik temu.

“Ceritakan apa yang kamu rasa. Saya bersedia mendengar ... tanpa menyela,” Guru Dan kembali bersuara, menyentak lamunan gadis tujuh belas tahun di sampingnya.

Zii termenung. Lalu bergetar lidahnya berucap, “Sa - saya pengen sembuh, Pak,” Ia membuka kancing salah satu lengannya dan menggulung secara perlahan hingga siku, membuat pergelangan penuh sayatan itu terpampang.

“Apakah saya bisa sembuh?” lanjutnya lirih.

Guru Dan menyimak dengan saksama. Pun sesuai janjinya, mendengar tanpa menyela.

“Semua orang bisa menjadi berubah, terutama dalam hal yang baik. Apa yang kamu takutkan,” tangannya meletakkan buku jurnal siswa ke bangunan rooftop.

“Jika kamu ingin bercerita, temui saya. Setidaknya saya bisa menjadi pendengar kamu,”

Zii menunduk. Meremas kedua telapak tangannya, lalu berganti dengan menyentuh tiap luka goresan yang tercipta di kulit. Luka itu tampak mencolok, kontras dengan putihnya warna permukaan kulit.

“Ayah ingin saya menjadi dosen sepertinya, sedangkan Bunda ingin saya menjadi pengacara,” ucapnya lemah.

“Kamu ingin jadi apa?”

“Saya ingin menjadi manusia waras,”

Merasa sudah tak ada jawaban dari Guru Dan, Zii menoleh dan mendapati gurunya itu menengadah pada langit.

“Kamu memang harus waras untuk berusaha sembuh,” jawabnya akhirnya.

Zii membalas, “bagaimana caranya agar saya bisa waras?”

Guru Dan tersenyum. “Dengan terus bahagia,”

Sang lawan bicara bungkam.

“Hidup memang sekejam itu kah, Pak?” tanya Zii setelah menjeda percakapan, pada akhirnya. Kemudian mengikuti gerakan Guru Dan, menengadah pada langit. Berpikir barangkali ada ilham yang turun dari Tuhan secara tiba-tiba.

“Hidup yang terlalu kejam atau mungkin kita yang tak menerima. Hanya itu pilihannya,” Guru Dan kembali bersuara setelah Zii melontarkan tanya dari tempatnya menengadah. Berkelumit dengan pikiran, mencari sanggahan yang tepat.

Zii kemudian lagi dan lagi termenung, membiarkan ucapan Guru Dan memenuhi otaknya bersama kewarasan yang mulai terkumpul.

Jika memaksa terus mengingat, maka memang bukan hanya tuntutan yang dilayangkan kedua orang tuanya. Melainkan juga kasih dan seluruh usaha memenuhi apa yang Zii inginkan.

Mungkin Guru Dan benar. Ia hanya terlalu fokus pada celah ketidaksempurnaan tanpa memerhatikan ada banyak kubangan kebahagiaan yang selama ini ia terima.

Zii mengutuk. Bagaimana bisa ia lupa pada siapa yang mengajarinya naik sepeda; siapa yang menemaninya membuat kue; juga, kata pertama yang ia ucapkan di usianya yang masih balita: Ayah, Bunda.

“Bagaimana solusi paling sederhana supaya saya bisa waras, Guru?”

Manik cokelat gadis itu berhadapan langsung dengan pekatnya netra sang guru.

“Berdamai dengan keadaan,”

Ungkapan terakhir guru Dan, menutup fase ketidakwarasan hidup Zii.

*****

Langit malam masih membawa hawa dingin di antara pencakar langit ibu kota. Kesejukan yang merasuk seolah membawa jiwa-jiwa kewarasan pada tubuh Zii.

Ia memandang langit yang menghitam dan, bintang-bintang yang membentuk semut dan gajah. Kemudian ketika suara mobil memasuki garasi, ia mulai menampilkan senyum semringah.

Hidup bukan akan indah pada waktunya, tetapi bagaimana kita membuat tiap waktunya menjadi indah. Juga, tentang menerima perjalanan hidup.

Zii kemudian tahu, pada akhirnya tempat kewarasan terkumpul adalah di keluarga. Tak peduli pada apalagi bisik-bisik komentar orang, ia hanya akan tahu; bahwa semut tak selalu benar dan gajah tak selalu salah.

Nganjuk, 27 Desember 2022

*Penulis merupakan gadis kelahiran Juli 2003 di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Mulai menggeluti literasi pada akhir tahun 2019 dan beberapa karyanya telah dimuat dalam buku antologi cerpen dan puisi