Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

OTT Jual Beli Jabatan di Nganjuk: Bukti Jalan Terjal Demokratisasi Politik Lokal

Moh Masum Yusron
Moh Masum Yusron. Foto dokumentasi pribad

Oleh: Moh Masum Yusron

Nganjuknews.com – Baru-baru ini masyarakat Kabupaten Nganjuk dihebohkan dengan adanya kasus jual beli jabatan. Kasus yang pernah terjadi di era bupati sebelumnya itu terulang kembali pada masa kepemimpinan bupati saat ini.

Seperti halnya nasib bupati sebelumnya, Mas Novi sapaan akrab Bupati Nganjuk saat ini juga ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya dalam kasus tersebut.

Kasus jual beli jabatan itu mengisyaratkan bahwa upaya demokratisasi politik lokal sejak dicetuskannya UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah serta UU 6/2014 tentang Desa masih menemui jalan terjal, berupa patologi elektoral warisan lama.

Warisan lama itu ialah budaya korupsi, kolusi, nepotisme, partisipasi masyarakat, kecurangan calon dalam proses pemilihan, kandidasi calon yang elitis, politik uang, hingga jalan gelap menuju pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Berpijak dari merebaknya kasus jual beli jabatan di tataran politik lokal dalam era demokrasi, Antlov (2004) menyatakan bahwa desentralisasi bisa jadi agenda depolitisasi masyarakat.

Dengan menyerahkan kebijakan pemerintahan menjadi urusan kabupaten/kota dan/atau provinsi, maka sangat mungkin hanya para politisi dan birokrat lokal yang akan memonopoli arah desentralisasi.

Desentralisasi semacam itu tidak mencerminkan aspirasi yang sesungguhnya dari bawah.

Desentralisasi dengan watak demikian justru melanggengkan hubungan kekuasaan elitis dan melestarikan penyimpangan politik di tingkat lokal, bahkan juga apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara.

Kasus jual beli jabatan di tataran politik lokal di Kabupaten Nganjuk ini dilengkapi dengan dugaan kecurangan peserta seleksi perangkat desa di beberapa kecamatan.

Mengutip dari video unggahan instagram @isn infoseputarnganjuk, seleksi perangkat desa di wilayah Kabupaten Nganjuk terindikasi terdapat kecurangan. Sedikitnya lebih dari lima desa terindikasi terdapat kecurangan dalam proses seleksi perangkat desanya.

Fenomena ini turut memperburuk kualitas demokrasi lokal kita hari ini. Selain itu, adanya dugaan kecurangan dalam proses seleksi perangkat desa semacam ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap model pemilihan melalui jalur seleksi.

Optimalisasi Peran KPK Hingga Tingkat Lokal

Sebagaimana kita ketahui bersama, korupsi nyatanya tidak hanya dilakukan oleh elit politik pada model pemerintahan sentralistik.

Dalam model pemerintahan desentralistik sekalipun, korupsi masih menjadi penyakit elit-elit politik meski dipilih melalui kontestasi politik elektoral yang demokratis.

Hal ini mengartikan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus turun ke daerah-daerah. Melihat fungsi tugasnya, selain KPK, pemberantasan korupsi juga dilakukan oleh Bareskrim Polri dan Kejaksaan.

Namun sejauh ini, hanya KPK yang mampu menjangkau pelaku tindak pidana korupsi di tingkatan lokal.

Peran KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di tingkat lokal, dimulai dengan menggalakkan sosialisasi tugas dan fungsinya ke masyarakat di tingkat lokal.

Dalam praktiknya, KPK dapat bekerjasama dengan lembaga pendidikan, organisasi sosial serta komunitas-komunitas yang ada masyarakat.

Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pendidikan di masyarakat agar terlibat aktif dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di lingkungannya masing-masing.

Peran KPK tidak akan maksimal bila mana independensi KPK sudah dicampuraduk kepentingan politik elit. Independensi KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi harus dijamin oleh negara.

Upaya-upaya pelemahan peran KPK melalui berbagai kebijakan maupun administratif lainnya tidak boleh dibiarkan.

KPK harus berdiri tegak sebagai lembaga pemberantasan korupsi, bukan sebagai alat kelompok tertentu menutup kejahatan korupsi kelompoknya sekaligus menumpas korupsi yang dilakukan kelompok lain.

Perlu Tim Ad Hoc Pengawas Independen

Jabatan perangkat desa memang menjadi menarik akhir-akhir ini. Saking menariknya, berbagai cara dilakukan oleh calon perangkat untuk dapat mengisi jabatan tersebut.

Seperti memberi suap kepada pejabat setingkat lebih atasnya, membeli joki jawaban ujian tulis dalam proses seleksinya, hingga menggunakan politik kekerabatan.

Seleksi serumit apapun rangkaian prosesnya, apabila terdapat kecurangan semacam ini dalam proses seleksinya, tentu tidak akan menghasilkan demokrasi yang berkualitas.

Sekalipun seleksi seolah disusun sedemikian demokratis prosedurnya, namun tetap saja pemilihan perangkat desa terjebak pada demokrasi liberal prosedural.

Kecurangan-kecurangan dalam proses seleksi perangkat desa ini harus diusut-tuntas pula seperti halnya korupsi.

Hanya saja, tindakan curang dalam proses seleksi harus pula bersifat preventif (pencegahan). Harus ada upaya antisipatif akan adanya indikasi kecurangan dalam seleksi jabatan perangkat desa. 

Menurut hemat penulis, perlu adanya tim khusus pengawas yang secara independen mengawasi proses seleksi calon perangkat desa dari rangkaian awal hingga akhir.

Tim ini dapat dibentuk oleh warga lokal bekerjasama dengan lembaga-lembaga tertentu, baik itu organisasi masyarakat, media massa, LBH, LSM, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, bahkan aparat keamanan (polisi, TNI dan lainnya).

Dalam melakukan fungsinya, tim khusus ini diberikan alokasi anggaran pula dari pemerintah. Dengan demikian, masyarakat dapat mengambil peran dalam upaya demokratisasi politik lokal.

Pendidikan Politik bagi Masyarakat Desa sebagai Upaya Demokratisasi Desa

Segala uraian di atas akan terbuang sia-sia apabila tidak terjadi pendidikan politik di masyarakat. Bobroknya pemerintahan dan kualitas demokrasi kita hari ini juga disebabkan oleh apatisnya masyarakat terhadap dinamika politik lokal di daerahnya sendiri.

Kiranya masyarakat manapun tahu, bahwa korupsi adalah tindakan menyimpang dan tidak dibenarkan oleh agama. Namun masyarakat tidak tahu atau tidak mau tahu bagaimana menyikapi tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat di daerahnya.

Selain itu, masyarakat manapun tentu menginginkan kehidupan yang adil dan makmur. Memiliki kehidupan yang harmonis, tidak mengalami ketimpangan ekonomi yang terlampau jauh dengan tetangga, serta dapat mengakses layanan publik seperti menyekolahkan anak dan berobat ke rumah sakit dengan mudah.

Namun masyarakat belum tentu mau tahu, bagaimana mewujudkan semua itu sebagai warga negara. Yang mereka tahu hanya lah sebagai manusia, maka cara mewujudkan itu semua dengan bekerja keras banting-tulang.

Jarang dipahami bahwa kondisi yang dialaminya sedemikian rupa tersebut melibatkan politik, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya (atau biasa disebut dengan problem struktural).

Alhasil, partisipasi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, termasuk dalam berdesa sangat lemah, sehingga secara tidak langsung memberi rasa aman pula terhadap pembajak-pembajak politik di tingkat lokal daerahnya.

Pendidikan politik di masyarakat harus terselenggara secara massif dan intensif. Melalui berbagai partai politik, organisasi masyarakat, hingga komunitas-komunitas yang diisi oleh pemuda intelektual desa.

Pendidikan politik bagi masyarakat kiranya dapat terselenggara dengan baik. Hal ini tentu tidak mudah sebab harus melalui pengorganisasian masyarakat di tingkat lokal. Pengorganisasian ini bermaksud agar ideologisasi atau proses pendidikan dapat terselenggara secara sistematis dan efektif melalui organisasi yang mewadahi mereka itu tadi.

Meski sulit, akan tetapi pekerjaan ini harus dilakukan dalam rangka demokratisasi di tingkat paling bawah, yakni desa. Tanpa adanya demokratisasi di tingkat desa, mustahil demokrasi elektoral di tingkat nasional saja dapat menciptakan partisipasi yang bermakna dari masyarakat.

Sebagaimana yang disampaikan Antlov (2004), desain demokrasi elektoral di tingkat nasional yang hanya melibatkan warga negara untuk ikut dalam pemilu lima tahunan sekali, mustahil dapat menciptakan partisipasi yang bermakna.

Model demokrasi elektoral semacam itu, hanya akan membuat teknokrat dan birokrat mempertahankan kekuasaan mereka selama masa antar-lima tahunan antar-pemilu.

Imbuhnya, model demokrasi demikian hanya menghasilkan reformasi politik yang dangkal dan ini akan membuat korupsi berjalan terus, sistem peradilan yang busuk tidak bisa berubah, sementara masyarakat akan tetap apatis dan tidak percaya pada negara.

Kondisi demokrasi kita hari ini sungguh memperihatinkan. Dari tingkat nasional hingga lokal penuh dengan kecacatan-kecacatan. Kecacatan ini tidak dapat disembuhkan bila dokter penyembuhnya, yakni rakyat tidak memiliki kesadaran dan keikutsertaan penuh dalam menyembuhkannya.

Sebab demokrasi adalah pemerintahan yang berangkat dari rakyat, diselenggarakan oleh rakyat, dan diorientasikan sepenuhnya untuk hajat hidup rakyat.

*Penulis adalah warga asli Kabupaten Nganjuk yang kebetulan sedang belajar di Yogyakarta. Sempat menjadi ketua organisasi Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Saat ini sedang menjabat sebagai Ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Pimpinan Kota Yogyakarta.