Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Mbah Hasan Dikromo Grampangsari-Sonopinggir, Menyibak Riwayat Kabur di Pinggiran Sungai Bratas

Ilustrasi Hasan Dikromo

Penulis: Usman Hadi*

Harus diakui, bahwa tidak banyak catatan yang mengupas mengenai jejak, peninggalan, maupun perjuangan dari Mbah Hasan Dikromo, tokoh yang di kemudian hari meninggalkan banyak anak dan cucu di kawasan tepi barat Sungai Bratas Dusun Sonopinggir, Desa Juwet, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Namun yang pasti, namanya tak bisa dilepaskan dari wilayah tersebut, atau yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Grampangsari, sebuah kampung, pedukuhan, yang berada di wilayah administratif Dusun Sonopinggir.

Mbah Hasan Dikromo banyak meninggalkan anak, cucu, cicit, canggah, bahkan wareng di Grampangsari-Sonopinggir. Tak cuma sekadar meninggalkan anak-cucu, Mbah Hasan Dikromo juga diyakini oleh sebagian masyarakat setempat sebagai salah satu tokoh yang ikut andil dalam membabat alas di tepi barat Sungai Brantas Dusun Sonopinggir.

Sungai Brantas sendiri merupakan salah satu sungai terpanjang di Pulau Jawa, terpanjang setelah Bengawan Solo. Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas tercatat seluas 11.988 km2.

Sebagai salah satu sungai terbesar di Jawa, dahulu Sungai Brantas kerap difungsikan sebagai jalur lalu lintas perdagangan utama, sekaligus menjadi akases masuk kapal-kapal besar dari wilayah utara Jawa ke daerah pedalaman di Jawa bagian selatan, dan sebaliknya.

Dengan kondisi geografis demikian, hal itu menjadikan kawasan di sekitar tepi Sungai Brantas menjadi konsentrasi penduduk sejak era masa klasik, dari zaman Hindu-Buddha, era penyebaran Islam di tanah Jawa, era kolonial Hindia Belanda, hingga era sekarang.

Memang tidak ada catatan pasti menganai kapan Mbah Hasan Dikromo mulai membabat alas Sonopinggir. Namun dari cerita tutur yang didapat penulis, dapat diperkirakan bahwa Mbah Hasan diduga mulai membuka lahan pada awal abad ke-19 masehi, sekitar tahun 1800-an. Setelah membabat alas, Mbah Hasan berkeluarga dan menetap di Sonopinggir, yang kini keturunannya tersebar di kawasan sekitar, tidak lagi terkonsentrasi di Sonopinggir saja.

Menurut penuturan Khomsatun, salah satu cucu dari Mbah Hasan, kakeknya ini bukanlah penduduk asli Sonopinggir. Berdasarkan cerita yang pernah didengarnya, Mbah Hasan berasal dari Solo, Jawa Tengah. Sementara kedatanganya ke tepi Sungai Brantas yakni untuk memperdalam ilmu agama Islam, mondok atau nderek kiai. Namun Khomsatun tak tahu kepada kiai mana Mbah Hasan mengaji.

Bila dikaji dalam antroponimi, nama Hasan Dikromo berasal dari dua bahasa yakni Arab dan Jawa. Hasan merupakan kata dari bahasa Arab, yang berarti baik, dan Dikromo merupakan bahasa serapan dari Jawa.

Penamaan Hasan Dikromo menandakan bahwa tokoh tersebut merupakan seseorang yang memeluk agama Islam, tak hanya sekadar pemeluk biasa, namun diduga kuat merupakan orang yang memiliki pengetahuan lebih di bidang agama. Hal itu terlihat dari nama Hasan yang disandangnya, nama dari bahasa Arab. Mengingat pada masa itu masih sangat jarang warga lokal, Jawa, yang memakai nama dengan serapan bahasa Arab, meskipun telah banyak pemeluk Islam saat itu.

Alkisah, sewaktu nyantri di Sonopinggir inilah Mbah Hasan bertemu dengan jodohnya. Ia menikah dengan seorang gadis kampung. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai lima orang anak, mereka bernama Durasih, Masirah atau Menir, Sirah, Ma’shum dan Mukhtar. Belum diketahui siapa nama istri pertama Mbah Hasan itu. Khomsatun tak mengingatnya.

Setelah istri pertama meninggal, Mbah Hasan menikah dengan Nyai Rasimah. Dari pernikahan yang kedua itu, Mbah Hasan dikeruniai sembilan anak, mereka yakni Irsyad, Juminah, Juminem, Musfitah, Sopiyah, Raginah, Rusdi, Sagi dan Mbah Ro. Jadi secara keseluruhan, anak dari Mbah Hasan berjumlah 14 baik laki-laki dan perempuan.

Cucu, cicit, canggah, hingga wareng dari Mbah Hasan kini berjumlah ratusan, yang tersebar di wilayah yang kini dikenal dengan nama Grampangsari-Sonopinggir.

Salah satu cucu dari Mbah Hasan, Jaelani, masih ingat bagaimana Mbah Hasan menjalani kehidupan di masa-masa tua hingga wafat. Namun ia tak ingat kapan Mbah Hasan menghembuskan nafas terakhirnya.

Cerita yang diperoleh Jaelani mengenai Mbah Hasan hampir sama seperti yang diutarakan Khomsatun, yang menyebutkan bahwa Mbah Hasan ialah salah satu tokoh yang membabat alas di Dusun Sonopinggir. Cerita itu yang diingat Jaelani hingga kini. Lewat mbabat alas itulah akhirnya Mbah Hasan memiliki sebidang lahan di Sonopinggir, yang kelak diwariskan ke anak-turunannya hingga sekarang.

*Usman Hadi, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Nganjuk, generasi ke-5 dari Mbah Hasan Dikromo